Rabu, 08 Desember 2010

Wish Me Luck

menjelang UAS malah update blog, hahaaa
UAS dimulai tanggal 20 DESEMBER 2010 dan UAS pertama itu MPKT, GOOD!!
padahal mau holiday-an ke Medan, dan berakhir batal. Jikan ga wakarimasu kara :P

Ok, habis UAS aku balik lagi, kok, tunggu yaa update blog aku

Catur Hitam


”Bukan aku yang ingin mengulang kejadian ini, bukan aku pula yang ingin menerima kenyataan ini, dan jelas bukan aku yang ingin.”

Desa ini bukan tempat kelahiranku, tapi singgah semua pengelana, sepertiku. Kutemui beberapa pengelana dengan kuda yang gagah bersandar di sebuah warung Mak Ida. Mak Ida seorang wanita paruh baya dengan senyuman yang selalu menarik pelanggan untuk mendatangi warung kecilnya dipinggir sungai. Aku mengenalnya 1 minggu yang lalu, ketika bulan penuh itu menggantung dilangit. Jalanku yang gontai dengan tubuh penuh darah di ujung jalan menuju desa. Dan terlihat lampu minyak yang kian mendekat membuat pandanganku menjadi gelap. Sosok Mak Ida.

Bumi berputar dan waktu berjalan seiring mengikuti kehidupanku. Lika-liku jalan tikus di desa pun sudah menjadi jalan besar bagiku. Tak ada satupun jalan tikus yang aku tak tahu. ”Pemuda! Kami tahu dari Mak Ida bahwa kau tahu seluk beluk desa ini. Nah, kalau jalan menuju kesana bagaimana?” tanya salah seorang pengelana sambil menunjuk hutan yang tak terjamah di seberang sungai. Mataku berkilat melihat hutan itu, cukup lama aku menatap hutan itu, Hutan Dieomi, orang desa menyebutnya seperti itu. Hutan itu terlarang karena banyak dari warga desa tak urung kembali dan ketika bulan penuh banyak suara aneh berteriak dalam kegelapan malam. ”Hutan itu? Jalanlah menuju barat dan ikuti deretan bambu kuning yang sudah tak karuan itu.” jawabku cukup lama. Pengelana itu menepuk bahuku dan memberiku 3 koin logam. Lalu, ia memberikan informasi tersebut kepada 4 kawan lainnya. Aku tersenyum dan tak tahu mengapa.

Esok pagi, mataharipun belum tampak dan itupun tak membuatku terlelap di atas bangku panjang milik Mak Ida, ya aku tinggal bersamanya, hanya aku dan Mak Ida. Kudengar dalam keheningan dimana langkah kaki menuju tempat aku menghabiskan waktu malam. Kubuka pintu kayu warung Mak Ida, kulihat segerombolan pengelana menuju ke arahku. Suasana berkabut, terlihat samar-samar lelaki yang kemarin bertanya padaku. ”Hei Pemuda! Kapan warung ini memperlihatkan transaksinya?” tanya seorang lelaki seusia denganku. ”Saat matahari mulai menerangi jalan untuk warga desa.” jawabku sambil menemani mereka duduk di bangku warung. Tak lama Mak Ida keluar dengan 6 gelas dan 1 teko, aroma kopi menyeruak ketika dituang dalam gelas bening. ”Ingin kemana tuan-tuan ini dengan kuda yang gagah?” tanya Mak Ida sambil membuka papan diwarungnya. ”Kami menuju Hutan Dieomi, Mak!” jawab pengelana sambil menyeruput kopinya. Matanya terbelalak mendengar Hutan Dieomi, tangannya bergetar memegang kaleng kerupuk. ”Janganlah tuan pergi kesana! Bahaya mengejar tuan layaknya angin.” peringatan Mak Ida dengan suara bergetar. Mak Ida menatapku, seperti ada yang salah denganku dan aku hanya menatapnya polos, tak tahu apa masalahnya.

Matahari mulai menuju ke peraduannya, sesuai dengan waktunya para pengelana itu memasuki hutan itu. Aku mengantarnya sampai tepian bambu kuning. Mereka mengajakku dan aku menolak.Secepat angin aku sudah tak melihat mereka seiring hembusan angin menerbangkan daun kering.

Aku menarik sebilah pedang yang kering berlumuran tinta merah. Dan tanpa belas kasihan aku membunuh mereka di gelapnya malam ditemani bulan penuh yang tergantung dilangit. Kugoreskan luka dengan pedang itu disekitar dada, punggung, kaki, dan tak luput tanganku. Kini aku bersimbah tinta merah, berjalan menuju desa selanjutnya. Dan membawa persembahan untuk Hutan Dieomi agar tetap subur. Dengan keadaan itu aku akan berubah normal. Akulah pion, bidak, dan prajurit dari Hutan Dieomi.